Thursday, June 10, 2010

INTEGRITAS ULAMA DALAM DAKWAH

Oleh: Ust H. M. Nurkholis Ridwan, M.Ag

"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat" (QS. Al-Mujadilah :]1)

Perjalanan jauh sudah ditempuh.Tujuan pria ini jelas mencatat sepenggal hadits Rasulullah Saw yang konon terdapat pada seorang yang bermukim jauh dari tempat tinggalnya. Harapannyasirna ketika melihatorang yang ditujunya sedang mendustai binatang. Sepertinya ia mau memberikan makanan pada hewan piaraannya, padahal hanya tipuan belaka. Kemudian ia pulang ke kampung halamannya dan berkata "Jika ia mendustai binatang, bukan mustahil ia berdusta dalam meriwayatkan hadits".
Kisah di atas dikutip dalam kitab-kitab hadits. Bag! sebagian orang, kisah di atas
hanya sekedar "legenda" yang sulit dicari taranya di masa sekarang. Justru yang tak dapat lekang adaiah spirit para ulama dan juru dakwah dalam menuntut ilmu dan menjaga orisinalitas Islam.
Betapa beratnya tugas yang diemban oleh para ulama, bahkan seperti dijanjikan Rasulullah Saw, orang yang mengajak pada sebuah kebaikan akan mendapat pahala seperti pelakunya (HR. Muslim). Dalam hadits lain rnenegaskan bahwa or¬ang yang menempuh sebuah jalan dalam menuntut ilmu, Allah mudahkan jalan menuju surga (HR. Bukhari dan Muslim).
Ganjaran ini tidak gratis, tugas berat
mengkaji Isjam (tafaqquh fiddin) mensyaratkan keikhlasan penuh dan usaha maksimal. Tak ada kata trial and error (coba dan salah) dalam menjelaskan syariat. Di seberang lain, godaan duniawi berupa harta dan kekuasaan menanti. Ada juga ancaman kekerasan, pengekangan dan fitnah dari musuh-musuh Islam yang terus mengincar. Tapi berbagai ancaman ini sejatinya merupakan saringan untuk membedakan antara ulamayang benar dan jahat.
Jauh nari Rasulullah Sawmengingatkan tentang fenomena ulama su' (ulama jahat) yang menyesatkan umat Anugrah ilmu yang diperoleh kalangan cendekiawan ini bukanlah curahan rahmat bagi umat, tapi petaka yang menggelontorkan rag am kemungkaran. Dalam sejarah, banyaknya hadits-hadits palsu yang tersebar salah satunya dilatari oleh kecenderungan menjilat pada penguasa (at-tazalluf ila al-hukkaam).
Betapa takutnya para ulama dahulu (salaf) untuk dekat dengan penguasa. kurungan penjara atau pecutan cambuk lebih terasa ringan daripada amanah kekuasaan yang terus memburu mereka. Imam Abu Hanifah dan Syafi'i rela menanggung derita siksa demi menoiak jabatan qadhi (hakim tinggi) yang ditawarkan Khalifah.
Mereka tetap mengkritik dan mengingatkan. Tapi mereka juga membangun tembok yang menghalangi intervensi godaan dunia. Ketika penguasa
setempatdatang menghadiri majlis Ibnu Abil Izz, ulama yang digelari Sulthan al-illama ini sedang menyelonjorkan kaki. Ketika ditegur oleh para pengawal, keluarlah ungkapannya yang terkenal "Orang yang menyelonjorkan kakinya pasti tidak menadahkan tangannya".
Karenanya kredibilitas para ulama amat terjaga sehingga dapatdigugu oleh umat. Sebab, jika wibawa ulama dan pemerintah rusak, kehancuran yang terjadi. Banyaknya kerusakan dalam lapangan politik, ekonomi dan sosial yang terjadi di negeri ini, harus diakui juga disebabka oleh iemahnya kredibilitas para ulama. Ustadz yang semestinya mencegah kemungkaran, malah bernyanyi bersama artis. Ada pula yang tanpa malu melontarkan pemikiran nyeleneh demi popularitas atau sesuap nasi. Yang terjadi adalah, ibarat kata pepatah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari". '
Sayangnya masyarakat kita terlalu "santun" sehingga enggan mengkritik dan mengingatkan. Amarma'rufnahimungkar yang jadi jaminan bagi kejayaan umat dicampakkan. Banyak orang merasa pakewuh dan maiu-malu mengungkap kebenaran.
Tak ayal, umat Islam harus membentengi diri dengan mengarahkan energi para ulama, juru dakwah, para pelajar/mahasiswa ilmu-ilmu keislaman untuk mengkaji syariat Islam secara nyata, terarah dan terpadu. Berbagai persoalan kontemporer, prinsip-prinsipnya telah dikupas tuntas oleh para ulama terdahulu. Mereka hanya melanjutkan perjuangan besar yang sebelumnya telah dirintis.
Selain itu, kesenjangan saluran komunikasi antar ulama dan umat harus ditutup rapat. Semua harus bersatu padu menghadapi fitnah pemikiran yang terus menyerang umat. Ini dapat niscaya jika terjadi kritik dan peringatan yang disampaikan secara santun dan membangun direbut kembali.
Tak ada kata malu atau gemetar untuk bicara kebenaran. Seperti keberanian seorang nenek tua dalam mengkritik Khalifah Umar di hadapan khalayak ramai dalam soal pembatasan mahar yang kala itumarakmahal.
Gempuran sekularisasi Barat di era modemisasi terus dilancarkan ke jantung keyakinan umat. Kristenisasi, sekularisasi, liberalisasi dan berbagai cabaran lainnya terus digelontorkan. Efektivitas serangan makin nyata melalui media massa. Tak ayal, umat Islam membutuhkan strategi dan taktik baru, bukan hanya bermodal semangat untuk melakukan counter attack (serangan balik). Harus ada "tim" yang memiliki kapabilitas di bidang syariah sekaligus melek terhadap soal-soal kontemporer. Persis dengan perjuangan para ulama sebelumnya. Mereka fasih mengutip ayat, hadits dan menjelaskannya langsung dari ingatan mereka, seperti fasihnya ketika berbicara tentang soal-soal umat
kontemporer di masanya. Kepekaan inilah yang perlu dibangun bersama. Perbedaan pendapat selama dalam koridor yang dibenarkan tak boleh jadi benih perpecahan yang makin meruncing.
Pemerintah dan masyarakat muslim harus bahu membahu menghadapi fitnah pemikiran yang menyesatkan umat. Bukankah salah satu tugas pemerintah adalah menjaga terselenggaranya keberagamaan yang baik di tengah-tengah masyarakatnya.
Membiarkan pemikiran sesattersebar tak hanya merugikan masyarakat, tapi pada akhirnya menjadi bumerang bagi stabilitas dan kepercayaan kepada pemerintah.